TIDAK ada yang tidak mengenal
Korea. Hampir seluruh dunia sedang terkena sindrom Korea, terutama di
Negara-negara kawasan Asia Pasifik. Klub-klub Korea mania menjamur,
anggotanya terdiri dari berbagai kalangan. Dari anak kecil yang masih
duduk di bangku SD hingga dewasa, menjadi gemar dengan segala hal yang
berbau korea.
Tapi masih sedikit yang mengetahui, bahwa ternyata Kota Bau-bau yang
terletak di Pulau Sulawesi bagian tenggara ini telah dideklarasikan
menjadi kota kembar dari Kota Seoul – Korea Selatan. Istilah kota kembar
dalam bahasa Inggris dikenal dengan twin-city, sister-city, brother-city, friendship-town, atau ada juga yang menyebutnya sebagai twin-town.
Apakah yang melatarbelakangi pendeklarasian ini?
Pada tahun 2005, seorang peneliti berbangsa Korea
berkunjung ke Kota Bau-bau untuk mengikuti sebuah konferensi internasional. Beliau mulai menyadari bahwa terdapat kesamaan dialek atau logat antara bahasa suku Cia-cia dan Bahasa Korea. Lalu menyarankan agar bahasa dari suku ini mengadopsi sistem hangul dalam penulisannya. Suku Cia-cia dengan jumlah populasi sekitar 60.000an jiwa lebih adalah salah satu suku kecil di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara, yang letaknya di bagian timur gugusan kepulauan Negara Indonesia.
berkunjung ke Kota Bau-bau untuk mengikuti sebuah konferensi internasional. Beliau mulai menyadari bahwa terdapat kesamaan dialek atau logat antara bahasa suku Cia-cia dan Bahasa Korea. Lalu menyarankan agar bahasa dari suku ini mengadopsi sistem hangul dalam penulisannya. Suku Cia-cia dengan jumlah populasi sekitar 60.000an jiwa lebih adalah salah satu suku kecil di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara, yang letaknya di bagian timur gugusan kepulauan Negara Indonesia.
Pada masa itu, keberadaan bahasa Cia-cia ini sudah sangat
mengkhawatirkan. Para tetua adat hampir putus asa untuk mengajak para
pemuda mau mempelajari dan melestarikan bahasa asli dari suku ini.
Kebanyakan pemuda sukunya lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa sehari-hari.
Ternyata, faktor tidak adanya huruf atau karakter dari suku inilah yang
menjadi penyebab utama mengapa para leluhur pengguna bahasa Cia-cia ini
mengalami kesulitan untuk mewariskan atau mengajarkannya kepada anak
cucu mereka. Konon, karakter dari huruf yang ada pada Bahasa Indonesia
ataupun Arab tidak mampu mewakili semua ejaan atau lafal dari Bahasa
Cia-cia ini.
Di Indonesia terdapat sekitar 300an suku minoritas, dengan lebih dari
250 bahasa khasnya. Dan kebanyakan dari suku-suku tersebut hanya
menggunakan karakter huruf arab untuk penulisannya. Sebab mereka tidak
mempunyai sistem penulisan khusus untukvmewakili penulisan skrip bahasa
asli mereka.
Pendeklarasian kota kembar ini tentu bukan tanpa alasan atau bukanlah
sekedar wacana murahan. Telah dilakukan penelitian lebih dalam sejak
beberapa tahun lalu oleh beberapa peneliti bahasa dari Korea. Lalu pada
bulan Juli tahun 2008, perwakilan dari Perhimpunan Hunminjeongeum,
sebuah organisasi di Korea Selatan, mengunjungi Kota Bau-bau untuk
kembali merekomendasikan penggunaan manuskrip Hangul pada bahasa ini.
Selanjutnya, setelah Kota Bau-bau akhirnya memutuskan pengadopsian sitem
Hangul pada penulisan Bahasa Cia-cia. Pemerintah kota mulai mengirimkan
para guru pengajar bahasa daerah Cia-cia ini ke Korea Selatan untuk
mempelajari Sistem Hangul.
Pada bulan Januari 2009, Kementerian bagian pusat bahasa pendidikan
nasional Korea mengirimkan surat permintaan kepada Walikota Bau-bau,
Amirul Tamim, agar tetap konsisten menggunakan Sistem Hangul. Di bulan
Desember, setelah Kota Bau-bau resmi menjadi “Kota Kembar” dari Seoul,
beberapa kawasan Kota yang penduduknya dominan suku Cia-cia, telah
menambahkan script Hangul di tanda atau jalan. Ini menjadikan jumlah
wisatawan asal Korea Selatan meningkat hingga 1000an orang di tahun
tersebut.
Beberapa diantara wisatawan tersebut adalah mahasiswa yang juga datang
untuk melakukan penelitian.
Hingga saat itu, semua pelajar sejak SD hingga SMA di Kota Bau-bau telah
mempelajari Hangul sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar